Sisa-sisa Belanda Depok

Lebih dari setengah abad Belanda sudah meninggalkan Indonesia sebagai negeri jajahan. Banyak cerita dan peninggalan yang diwariskan negara itu pasca penjajahan di Jawa yang telah berusia 250 tahun. Salah satunya, keberadaan keturunan 12 marga bekas budak yang dibebaskan saudagar tanah Belanda, Cornelis Chastelein. Mereka bermukim di kawasan Depok Lama, Bogor, Jawa Barat, dan kerap disebut Belanda Depok.
Suasana peringatan kemerdekaan Indonesia masih mewarnai Depok, Jawa Barat, hingga akhir Agustus lalu. Kibaran bendera merah-putih masih menghiasi rumah-rumah di sepanjang Jalan Pemuda, Depok Lama. Daerah ini dikenal sebagai tempat bermukim komunitas Belanda Depok. Kawasan ini berada di tengah-tengah kota Depok, di perbatasan antara kawasan Perumnas Depok I dan II. Jejeran rumah tua dengan konstruksi bangunan bergaya Belanda masih banyak ditemui di sekitar Jalan Pemuda.

 

Bendera merah-putih tak hanya berkibar di pemukiman warga, tetapi juga di gedung Sekolah Dasar Pancoran Mas dan SD Depok 2. Gedung sekolah ini dulunya adalah sekolah penginjilan dan sekolah anak-anak Belanda, sebelum dibubarkan pada tahun 1942.
Dijuluki si Belanda Keling atau Bule Depok

Laela Leander adalah salah satu keturunan Belanda yang tinggal di Depok. Namanya memang bermarga Belanda, tapi wajah Laela lebih tampak keturunan Ambon, kulit hitam dan rambut keriting. Laela adalah generasi ke tujuh marga Leander yang tinggal di Depok. Meski mengaku jarang berbaur dengan warga di luar komunitasnya, Laela mengaku jiwanya tetap merah-putih. “Sangat penting buat saya. Arti kemerdekaan buat kita juga. Istilahnya orang Depok yang sudah berbaur tambah bersatu lagi. Tak ada perbedaan dan harus terus dijaga,” tambahnya.
Semangat merayakan kemerdekaan terasa sampai pelosok gang. Berbagai lomba menjadi kegiatan rutin komunitas Belanda Depok tiap perayaan 17-an. Antonio Loen, yang sudah tinggal di sini sejak 60 tahun lalu, adalah salah seorang sesepuh Belanda Depok. “Macam-macam kegiatan olah raga. Catur, badminton, tarik tambang sampai panjat pinang. Kita selalu ikut,” ujarnya.


Meski sudah bertahun-tahun tinggal di Depok, sebutan Belanda Depok ternyata meresahkan Sisca Bacas. Ia merasa sebutan itu membuatnya diperlakukan berbeda dengan warga Indonesia lain. Padahal, lahir batin, ia mengaku orang Indonesia. “Sama saja. Kami ikut merayakan seperti warga negara Indonesia lainnya. Setelah proklamasi kemerdekaan, tak ada lagi perlakuan istimewa. Saya pun termasuk angkatan sesudah proklamasi dan tidak merasa generasi khusus,” ungkapnya.
Demi memelihara nasionalisme, Lembaga Cornelis Chastelein (LCC) yang beranggotakan keturunan Belanda Depok, mewajibkan setiap sekolah di kawasan komunitas ini untuk menggelar upacara bendera tiap 17 Agustus, sama seperti sekolah lainnya. Ketua LCC, Valentino Jonathans, menegaskan, tak ada alasan untuk tidak ikut merayakan kemerdekaan bangsa ini. Ia menggarisbawahi komunitas Belanda Depok tetap orang Indonesia, meski ada kata Belanda di sana. “Kami bukan antek Belanda,” sergahnya.
Saya kira sama saja, kita bangsa Indonesia bukan bangsa di luar Nusantara. Jadi tetap merayakan 17 Agutus tidak berbeda dengan yang lain. Sampai saat ini, sekolah-sekolah di bawah yayasan juga mengadakan perlombaan-perlombaan. Bahkan, 17 Agustus upacara di sini. Dibilang Belanda Depok kita juga keberatan, karena kita asli orang-orang Indonesia yang diambil Cornelis Chastelein dari daerah timur yang dididik dan dibesarkan di sini,” imbuh Valentino Jonathans.


 
Kini, sebetulnya sudah tak ada lagi yang murni bisa disebut Belanda Depok. J.J. Rizal, sejarawan Universitas Indonesia, berkisah, sebagian besar mereka telah kawin campur dengan warga sekitar. “Sekarang sudah tak ada lagi. Dulu, memang anak emasnya pemerintah kolonial. Bahkan sempat punya presiden Depok dan turunannya masih ada sekarang. Tahun 60-an berubah sama sekali. Banyak perkawinan campur dan tak ada lagi orang Belanda asli di Indonesia, terutama di Bali dan Indonesia bagian timur. Yang menarik adalah cara mereka berasimilasi dan bermasyarakat melalui bintang sepak bolanya. Seperti Soedira itu bintang sepak bola Depok,” terangnya.
Misionaris Protestan terkucil

Sebenarnya, bagaimana asal muasal Belanda Depok ini? Belanda Depok tak lepas dari sejarah penjajahan Belanda. Ketika VOC masih berkuasa di sekitar tahun 1696, Cornelis Chastelein membeli tanah seribuan hektar mencakup Depok yang kita kenal kini. Sebagai tuan tanah, Chastelein mempunyai 100-an pekerja. Mereka didatangkan dari Bali, Makassar, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Jawa, Pulau Rote serta Filipina. Ia juga menyebarluaskan agama Kristen kepada para budaknya, lewat sebuah Padepokan Kristiani. Padepokan ini bernama De Eerste Protestante Organisatie van Christenen¹ (Organisasi Kristen Protestan Pertama) atau disingkat Depok. Dari sini rupanya nama kota ini berasal.
Menjelang tutup usia di tahun 1714, Cornelis Chastelein menulis surat wasiat: “...Maka hoetang jang laen jang disabelah timoer soengei Karoekoet sampai pada soengei besar, anakkoe Anthony Chastelein tijada boleh ganggoe sebab hoetan itoe misti tinggal akan goenanya boedak-boedak itoe mardaheka, dan djoega mareka itoe dan toeroen-temoeroennja tijada sekali-sekali boleh potong ataoe memberi izin akan potong kajoe dari hoetan itoe boewat penggilingan teboe... dan mareka itoe tijada boleh bikin soewatoe apa djoega jang boleh djadi meroesakkan hoetan itoe dan kasoekaran boeat toeroen-temoeroennja,...
Selain wasiat itu, Cornelis Chastelein juga mewariskan tanahnya kepada seluruh budak yang telah mengabdi kepadanya sekaligus menghapus status budak menjadi orang merdeka. Ada 12 marga² yang sempat menjadi pekerja Cornelis Chastelein, yaitu marga Jonathans, Leander, Bacas, Loen, Samuel, Jacob, Laurens, Joseph, Tholense, Isakh, Soedira dan Sadokh. Kini, sudah tidak ada lagi marga Sadokh karena sudah punah. Keturunan marga-marga inilah yang kerap disebut 'Belanda Depok'.
Ketua LCC, Valentino Jonathans mengatakan, setidaknya ada tujuh ribu warga komunitas Belanda Depok yang terdaftar di LCC. Mereka tersebar di berbagai daerah dan negara. “Pada awalnya memang ada 150 seperti yang saya ceritakan. Sekarang peninggalannya sekitar 7000-an kepala yang masih terdaftar di yayasan di Depok. Saya kira masih banyak juga yang belum terdaftar seperti di Jakarta, Bandung, Surabaya dan lain-lain. Juga banyak saudara-saudara kita yang tinggal di luar negeri,” ungkap Jonathans.
Di antara mereka, sepertiganya adalah keturunan asli Belanda yang menikah dengan orang Indonesia atau keluarga Belanda yang lebih senang tinggal di Indonesia. Sebutan Belanda Depok sebetulnya hanya label belaka bagi orang pribumi yang mendapatkan keistimewaan dari pemerintah Belanda kala itu. Mereka menyandang 12 marga pekerja Cornelis Chastelein.
Perlakuan khusus sulut kesenjangan sosial

Tapi, menurut sesepuh Belanda Depok, Antonio Loen, keistimewaan itu justru memicu kecemburuan warga lain. Mereka pun kerap dituding sebagai ‘antek’ sewaktu Belanda masih menduduki Indonesia. Bahkan, kebudayaan Belanda dan perayaan hari kelahiran Cornelis Chastelein ikut dilarang.


Sebenarnya, orang memberikan julukan Belanda Depok kepada kami sebagai penduduk asli Depok. Perilaku mereka seperti orang Belanda karena didikan Belanda. Sebelum pribumi mengenal bangku pendidikan, kami sudah sekolah. Tak heran, sewaktu revolusi 1945 warga Depok banyak yang tewas dibunuh pejuang karena dianggap antek Belanda. Mereka berpuluh-puluh tahun hidup mendapat keistimewaan Belanda,” papar Antonio Loen.

Marga Belanda pemberian Chastelein rupanya bukan satu-satunya pemicu kecemburuan sosial. Jamruh, sesepuh masyarakat Betawi di Depok, menambahkan, ini juga karena mereka kurang berbaur dengan warga sekitar. “Mereka dan anak cucunya yang 12 itu sampai sekarang sehari-hari menggunakan Bahasa Belanda. Di sekolah yang dulunya diharuskan berbahasa Indonesia mereka tidak mau dan tetap memakai Bahasa Belanda. Adat istiadat mereka pun seperti orang Belanda. Menolak dipanggil bapak, maunya oom atau meneer, yang perempuan tante,” jelasnya.
Kecemburuan ini memuncak di tahun 1950-an. Ratusan rumah orang Belanda Depok, yang kini menjadi Stasiun Depok Lama, habis dibakar warga sekitar. Penyebabnya, menurut Jamruh, karena mereka tak mengakui bendera merah-putih sebagai lambang negara. “Disuruh pasang bendera merah putih tidak mau. Menjawab salam merdeka juga menolak. Kemungkinan, ada dendam lama orang-orang yang berada di sekitar mereka. Mungkin, merasa tertekan oleh tuan tanah. Banyak masalahnya,” tambahnya.
Kini, komunitas Belanda Depok dan warga sekitar hidup damai. Jamruh bahkan kagum dengan kebiasaan dan komitmen komunitas ini dalam menjaga lingkungan. “Kalau yang namanya hukum, mereka tidak akan tawar-tawar lagi karena ada undang-undangnya. Tapi, kalau diajak musyawarah agak susah, karena mereka dasarnya hukum saja. Contohnya, diajak ronda tak bakal mau karena ada polisi. Begitu pula kebersihan, itu bukan tugas warga melainkan Dinas Pekerjaan Umum. Tapi kalau bayar Pajak Bumi dan Bangunan mereka duluan,” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar