Inilah alesan kenapa ada simbol 666 di komil naruto baca PESAN 666 di komik NARUTO
Upacara tradisional di Jepang bisa jadi merupakan jejak bahwa Yahudi dan 10 Suku Hilang Israel datang ke Jepang kuno.
Upacara tradisional di Jepang bisa jadi merupakan jejak bahwa Yahudi dan 10 Suku Hilang Israel datang ke Jepang kuno.
Festival di Jepang yang Mengilustrasikan Kisah Ishaq
Di prefektur Nagano, Jepang, terdapat sebuah kuil besar Shinto bernama “Suwa-Taisha” (Shinto adalah agama tradisional khas Jepang). Setiap tanggal 15 April, di Suwa-Taisha diadakan festival tradisional bernama “Ontohsai”. Festival ini mengilustrasikan kisah Ishaq dalam bab 22 Genesis, Bibel, yaitu, kisah mengenai Ibrahim yang hendak mengorbankan putranya sendiri, Ishaq. Festival “Ontohsai” diselenggarakan sejak zaman dahulu kala dan dianggap sebagai festival terpenting di “Suwa-Taisha”.
Di prefektur Nagano, Jepang, terdapat sebuah kuil besar Shinto bernama “Suwa-Taisha” (Shinto adalah agama tradisional khas Jepang). Setiap tanggal 15 April, di Suwa-Taisha diadakan festival tradisional bernama “Ontohsai”. Festival ini mengilustrasikan kisah Ishaq dalam bab 22 Genesis, Bibel, yaitu, kisah mengenai Ibrahim yang hendak mengorbankan putranya sendiri, Ishaq. Festival “Ontohsai” diselenggarakan sejak zaman dahulu kala dan dianggap sebagai festival terpenting di “Suwa-Taisha”.
Di sebelah kuil “Suwa-Taisha”, ada sebuah gunung bernama Gunung
Moriya (dalam bahasa Jepang disebut “Moriya-san”). Penduduk di area Suwa
memanggil dewa Gunung Moriya dengan sebutan “Moriya no kami”, yang
berarti “dewa Moriya”. Pada festival tersebut, seorang anak laki-laki
diikatkan dengan tali pada sebuah pilar kayu, lalu ditempatkan di atas
tikar bambu. Seorang pendeta Shinto menghampiri sang anak sambil
menyiapkan sebilah pisau, namun kemudian seorang pembawa pesan/messenger
(pendeta lainnya) datang, dan anak laki-laki tersebut dibebaskan. Ini
mengingatkan kita pada kisah ketika Ishaq dibebaskan setelah malaikat
datang pada Ibrahim.
Pada festival ini, pengorbanan binatang juga dilakukan. Sebanyak 75
ekor rusa dikorbankan, tapi di antara jumlah tersebut diyakini bahwa ada
seekor rusa yang kupingnya cacat. Rusa ini dipercaya telah dipersiapkan
oleh tuhan. Hal ini mungkin ada kaitannya dengan biri-biri jantan yang
dipersiapkan tuhan dan kemudian dikorbankan setelah Ishaq bebas. Namun
di zaman dahulu, penduduk berpikir bahwa kebiasaan pengorbanan rusa ini
adalah hal yang aneh, sebab pengorbanan binatang bukanlah sebuah tradisi
Shinto.
Penduduk menyebut festival ini sebagai “festival untuk dewa
Misakuchi”. “Misakuchi” mungkin berasal dari “mi-isaku-chi”. “Mi”
berarti “besar”, “isaku” mungkin saja “Ishaq” (dalam bahasa Hebrew
adalah “Yitzhak”), dan “chi” adalah sesuatu (semacam partikel-pen) yang
dipakai untuk akhir suatu kata. Tampaknya penduduk Suwa menjadikan Ishaq
sebagai dewa, mungkin karena pengaruh dari para penyembah berhala.
Kini upacara pengorbanan anak laki-laki dan pembebasannya tersebut
tak lagi dipraktekkan, tapi kita masih bisa melihat pilar kayu yang
disebut “oniye-basira” yang berarti “pilar pengorbanan” (sacrifice-pillar).
Kini penduduk menggunakan binatang tiruan (stuffed animal/binatang
sumpalan) sebagai pengganti bintang asli dalam melaksanakan
pengorbanan. Bagi rakyat di zaman Meiji (sekitar 100 tahun lalu),
mengikat seorang anak laki-laki yang diikuti dengan pengorbanan binatang
dianggap sebagai perbuatan biadab, dan kebiasaan tersebut dihentikan.
Tapi festival itu sendiri hingga hari itu masih berlangsung.
Upacara pengorbanan anak laki-laki tersebut dipertahankan hingga
permulaan zaman Meiji. Masumi Sugae, seorang terpelajar Jepang dan
pencatat perjalanan yang hidup di zaman Edo (sekitar 200 tahun lalu),
menuliskan catatan perjalanannya dan mencatat apa yang ia lihat di Suwa.
Catatan ini memperlihatkan keterangan detail mengenai “Ontohsai”.
Catatan ini mengatakan bahwa upacara pengorbanan anak laki-laki dan
pembebasannya tersebut, serta pengorbanan binatang, masih berlangsung
pada zaman Sugae. Catatan Sugae ini tersimpan di museum dekat
Suwa-Taisha.
Festival “Ontohsai” dipertahankan oleh keluarga Moriya sejak zaman
dahulu kala. Keluarga Moriya berpikir bahwa “Moriya-no-kami” (dewa
Moriya) adalah dewa leluhur mereka. Dan mereka berpikir bahwa “Gunung
Moriya” adalah tempat suci mereka. Nama “Moriya” mungkin berasal dari
“Moriah” (dalam bahasa Hebrew adalah “Moriyyah”) dalam Genesis 22:2.
Keluarga Moriya menyelenggarakan festival tersebut selama 78 generasi. Festival Ontohsai pasti telah ada sejak zaman dahulu.
Keluarga Moriya menyelenggarakan festival tersebut selama 78 generasi. Festival Ontohsai pasti telah ada sejak zaman dahulu.
Saya tidak mengetahui negara lain, selain Jepang, yang memiliki
sebuah festival yang mengilustrasikan kisah Ishaq. Saya yakin tradisi
ini menjadi bukti kuat bahwa Israel pernah datang ke Jepang di zaman
dahulu.
Hiasan pada bagian atas Imperial House of Japan sama dengan yang ditemukan pada Gerbang Yerusalem
Hiasan yang terdapat pada bagian atas Imperial House of Japan adalah berupa lambang bundar (round mark) berbentuk bunga dengan 16 daun bunga (foto kanan). Bentuknya di masa kini terlihat seperti bunga serunai/chrysanthemum (mum), tapi para ilmuwan mengatakan bahwa di zaman kuno, bentuk tersebut lebih terlihat seperti bunga matahari. Ini benar-benar bentuk yang sama dengan lambang pada gerbang Herod di Yerusalem. Hiasan pada gerbang Herod juga memiliki 16 daun bunga (foto kiri).
Hiasan yang terdapat pada bagian atas Imperial House of Japan adalah berupa lambang bundar (round mark) berbentuk bunga dengan 16 daun bunga (foto kanan). Bentuknya di masa kini terlihat seperti bunga serunai/chrysanthemum (mum), tapi para ilmuwan mengatakan bahwa di zaman kuno, bentuk tersebut lebih terlihat seperti bunga matahari. Ini benar-benar bentuk yang sama dengan lambang pada gerbang Herod di Yerusalem. Hiasan pada gerbang Herod juga memiliki 16 daun bunga (foto kiri).
Simbol Bintang David juga digunakan di Ise-jingu, kuil Shinto untuk Imperial House of Japan
Ise-jingu di prefektur Mie, Jepang, merupakan sebuah kuil Shinto yang dibangun untuk Imperial House of Japan. Pada kedua sisi jalan menuju kuil tersebut terdapat lampu-lampu yang terbuat dari batu. Anda juga dapat melihat Bintang David kaum Yahudi terukir di setiap lampu, dekat bagian puncaknya.
Ise-jingu di prefektur Mie, Jepang, merupakan sebuah kuil Shinto yang dibangun untuk Imperial House of Japan. Pada kedua sisi jalan menuju kuil tersebut terdapat lampu-lampu yang terbuat dari batu. Anda juga dapat melihat Bintang David kaum Yahudi terukir di setiap lampu, dekat bagian puncaknya.
Di prefektur Kyoto, ada sebuah kuil bernama “Manai-Jinja” yang
merupakan Kuil Ise-jingu asli. Hiasan di “Manai-Jinja” juga adalah
Bintang David. Jadi, ini telah digunakan sejak zaman dahulu kala.
Saya pernah mendengar bahwa Bintang David ditemukan di sebuah sinagog Yahudi pada abad ke-3 di Eropa.
Para pemimpin keagamaan Jepang, “Yamabushi”, meletakkan
sebuah kotak hitam pada dahi mereka, serupa dengan kaum Yahudi yang
meletakkan Phylactery (kotak kecil berbahan kulit yang memuat teks-teks Hebrew-pen) di dahi.
“Yamabushi” adalah pemimpin keagamaan yang sedang dalam masa latihan dan hanya ada di Jepang. Kini, mereka dianggap sebagai bagian dari Budhisme Jepang. Namun, Budhisme di Cina, Korea, atau India, tidak memiliki kebiasaan ini. Kebiasaan “Yamabushi” telah ada di Jepang sebelum Budhisme masuk ke Jepang pada abad ke-7.
“Yamabushi” adalah pemimpin keagamaan yang sedang dalam masa latihan dan hanya ada di Jepang. Kini, mereka dianggap sebagai bagian dari Budhisme Jepang. Namun, Budhisme di Cina, Korea, atau India, tidak memiliki kebiasaan ini. Kebiasaan “Yamabushi” telah ada di Jepang sebelum Budhisme masuk ke Jepang pada abad ke-7.
Pakaian yang dikenakan “Yamabushi” pada dasarnya berwarna putih. Di
dahinya, mereka meletakkan sebuah boks kecil berwarna hitam yang disebut
“tokin”, yang diikatkan ke kepalanya dengan tali hitam. Mereka
benar-benar menyerupai Yahudi yang meletakkan phylactery (kotak hitam) di dahi dengan menggunakan tali hitam. Ukuran “tokin” ini hampir sama dengan ukuran phylactery milik kaum Yahudi. Tapi “tokin” berbentuk bundar dan terlihat seperti bunga.
Sepertinya, phylactery Yahudi yang diletakkan di dahi semula
berasal dari “pelat” dahi yang diletakkan pada dahi pendeta tertinggi,
Aaron, dengan menggunakan tali (Exodus 28:36-38). Menurut
cerita/dongeng, ukurannya sekitar 4 cm (1,6 inchi), dan beberapa ilmuwan
mengatakan bahwa ini berbentuk bunga. Jika demikian, maka pelat
tersebut sangat mirip dengan bentuk “tokin” di Jepang yang dikenakan
oleh “Yamabushi”.
Setahu saya, hanya ada dua negara di dunia ini yang mengenakan sebuah boks di dahi, yaitu Israel dan Jepang,
Selain itu, “Yamabushi” mengenakan kerang laut berukuran besar sebagai tanduk. Ini sangat mirip dengan kaum Yahudi yang meniup shofar, atau tanduk biri-biri jantan. Ketika ditiup, suara yang keluar dari tanduk “Yamabushi” benar-benar seperti suara shofar. Di Jepang tak ada biri-biri, “Yamabushi” harus menggunakan tanduk dari kerang laut, bukan tanduk biri-biri jantan.
“Yamabushi” adalah orang-orang yang menganggap pegunungan sebagai
tempat suci mereka untuk latihan keagamaan. Orang-orang Israel juga
menganggap pegunungan sebagai tempat suci. Ten Commandments Torah
diturunkan di Gunung Sinai. Yerusalem adalah kota yang berada di atas
gunung. Yesus (Yeshua) terbiasa mendaki gunung tersebut untuk berdoa di
sana. Perubahan rupa Yesus juga terjadi di atas gunung.
Di Jepang terdapat legenda mengenai “tengu”, yang tinggal di sebuah
gunung dan memiliki bentuk tubuh yang sama dengan “Yamabushi”. Ia
memiliki hidung yang jelas serta kemampuan supernatural. “Ninja”, agen
atau mata-mata di zaman kuno yang bekerja untuk tuannya, sering
mendatangi “tengu” di gunung untuk mendapatkan kemampuan supernatural
darinya. Setelah memberikan kekuatan, “Tengu” memberi “Ninja” sebuah
“tora-no-maki” (gulungan “tora”). “Gulungan tora” ini dianggap sebagai
buku/kitab terpenting yang berguna dalam setiap masalah. Kami, orang
Jepang, kadang-kadang menggunakan buku ini dalam kehidupan sehari-hari
kami, bahkan hingga hari ini.
Kami tidak mengetahui bahwa gulungan Torah Yahudi yang asli pernah
ditemukan di lokasi-lokasi bersejarah di Jepang. Saya hanya dapat
menduga bahwa “gulungan tora” menggunakan kitab suci bernama “Torah”,
yang digunakan oleh kaum Yahudi hingga hari ini.
“Omikoshi” di Jepang menyerupai Ark of the Covenant (Tabut Perjanjian)
Dalam Bibel, Kejadian Pertama chapter 15, tertulis bahwa David membawa tabut perjanjian dari Tuhan ke Yerusalem.
Dalam Bibel, Kejadian Pertama chapter 15, tertulis bahwa David membawa tabut perjanjian dari Tuhan ke Yerusalem.
“David dan para sesepuh Israel serta para komandan unit yang
berjumlah ribuan pergi membawa tabut perjanjian TUHAN dari rumah
Obed-Edom, dengan penuh kegembiraan. …Lalu David berpakaian jubah yang
terbuat dari linan halus, begitu pula para Levites yang sedang membawa
tabut, serta para penyanyi, dan Keniah, yang bertugas menyanyikan paduan
suara. David juga mengenakan ephod dari linan. Jadi semua
Israel membawa tabut perjanjian TUHAN sambil bersorak-sorai, dengan
membunyikan tanduk biri-biri jantan dan terompet, dan simbal, serta
memainkan lyre (instrumen bersenar yang berbentuk U, digunakan di zaman
kuno-pen) dan harpa.” (15: 25-28)
Ketika membaca paragraf tersebut, saya berpikir; “Betapa miripnya ini
dengan pemandangan ketika orang-orang Jepang mengangkut ‘Omikoshi’ kami
saat festival? Bentuk ‘Omikoshi’ Jepang benar-benar terlihat seperti
tabut perjanjian. Orang-orang Jepang bernyanyi dan menari di depannya
sambil bersorak-sorai, dan memainkan instrumen musik. Semua hal ini
sangat mirip dengan kebiasaan Israel kuno.”
Orang-orang Jepang mengangkut “Omikoshi” di atas pundak mereka dengan
tiang – biasanya 2 tiang. Begitu pula halnya dengan Israel kuno:
“Para Levites mengangkut tabut Tuhan dengan tiang di pundak mereka,
seperti yang diperintahkan Musa berdasarkan firman TUHAN.” (Kejadian 1
15:15)
Tabut perjanjian Israel memiliki 2 tiang (Eksodus 25: 10-15).
Beberapa model tabut yang diperbaiki, seperti bayangan kita, menggunakan
2 tiang di bagian atas tabut. Namun Bibel mengatakan bahwa tiang-tiang
tersebut diikatkan pada tabut oleh 4 cincin “pada keempat kakinya”
(Eksodus 25:12). Jadi tiang-tiang tersebut pasti dilekatkan pada dasar
tabut. Ini serupa dengan “Omikoshi” Jepang.
Tabut Israel memiliki 2 patung cherubim (malaikat urutan kedua pada hirarki surga-pen) berbahan emas pada bagian puncaknya. Cherubim
adalah sejenis malaikat, mahluk surga yang misterius. Mereka memiliki
sayap seperti burung. “Omikoshi Jepang” juga memiliki burung emas, yang
disebut “Ho-oh”, pada bagian puncaknya, yang merupakan burung khayalan
dan makhluk surga yang misterius. Secara keseluruhan, tabut Israel
dilapisi emas. “Omikoshi” Jepang juga hampir seluruhnya dilapisi emas.
Ukuran “Omikoshi” hampir sama dengan tabut Israel. “Omikoshi” Jepang
mungkin merupakan sisa-sisa tabut Israel kuno.
Banyak hal yang berkenaan dengan tabut Israel menyerupai adat-istiadat Jepang
Raja David dan orang-orang Israel bernyanyi dan menari sambil membunyikan instrumen-instrumen musik di depan tabut. Kami, orang Jepang, bernyanyi dan menari sambil membunyikan instrumen-instrumen musik di depan “Omikoshi”.
Raja David dan orang-orang Israel bernyanyi dan menari sambil membunyikan instrumen-instrumen musik di depan tabut. Kami, orang Jepang, bernyanyi dan menari sambil membunyikan instrumen-instrumen musik di depan “Omikoshi”.
Beberapa tahun lalu, saya menonton sebuah film buatan Amerika
berjudul “King David” yang memuat kisah terpercaya mengenai kehidupan
Raja David. Dalam film itu, David membawa tabut ke Yerusalem sambil
menari di depan tabut tersebut. Saya berpikir: “Jika pemandangan di
Yerusalem itu diganti dengan pemandangan Jepang, maka adegan ini akan
sama persis dengan apa yang saya lihat di sini, dalam festival-festival
di Jepang.”
Atmosfir musiknya pun menyerupai musik Jepang. Tarian David benar-benar terlihat seperti tarian tradisional Jepang.
Dalam festival “Gion-jinja” di kuil Shinto di Kyoto, orang-orang
mengangkut “Omikoshi” lalu masuk ke dalam air, dan menyeberangi sungai.
Saya hanya dapat menduga bahwa ini berasal dari ingatan Israel Kuno yang
mengangkut tabut ketika menyeberangi sungai Jordan setelah melakukan
eksodus dari Mesir.
Di sebuah pulau di Laut Inland, Seto, Jepang, orang-orang yang
terpilih sebagai pengangkut “Omikoshi” tinggal bersama di sebuah rumah
selama satu minggu sebelum mereka mengangkut “Omikoshi”. Ini untuk
mencegah pencemaran pada diri mereka. Selanjutnya, pada hari sebelum
mengangkut “Omikoshi”, mereka mandi dalam air laut untuk menyucikan
diri. Ini sama dengan kebiasaan Israel kuno:
“Demikianlah para pendeta dan Levites menyucikan diri mereka untuk membawa tabut Tuhan Israel.” (Kejadian 1 15:14)
Bibel mengatakan bahwa setelah tabut memasuki Yerusalem dan barisan
berhenti; “David membagikan sepotong roti, sepotong daging, dan sepotong
kue kismis, kepada setiap orang Israel, baik laki-laki maupun
perempuan” (Kejadian 1 16:3). Ini sama dengan kebiasaan di Jepang. Di
Jepang, setelah festival selesai, gula-gula dibagikan kepada setiap
orang. Itu adalah sesuatu yang menyenangkan saat saya masih kanak-kanak.
Jubah pendeta Jepang menyerupai jubah pendeta Israel
Bibel mengatakan bahwa ketika David membawa tabut ke Yerusalem; “David berpakaian jubah yang terbuat dari linan halus” (Kejadian 1 15:27). Begitu pula dengan para pendeta dan paduan suara. Dalam Bibel berbahasa Jepang, ayat ini diterjemahkan menjadi “jubah dari linan putih”.
Bibel mengatakan bahwa ketika David membawa tabut ke Yerusalem; “David berpakaian jubah yang terbuat dari linan halus” (Kejadian 1 15:27). Begitu pula dengan para pendeta dan paduan suara. Dalam Bibel berbahasa Jepang, ayat ini diterjemahkan menjadi “jubah dari linan putih”.
Pada Israel kuno, meski pendeta tinggi mengenakan jubah berwarna,
para pendeta umum mengenakan linan putih. Para pendeta mengenakan
pakaian berwarna putih pada acara-acara suci. Begitu pula dengan para
pendeta Jepang, mengenakan jubah putih di setiap acara suci. Di
Ise-jingu, salah satu kuil tertua di Jepang, semua pendeta mengenakan
jubah putih. Dan di banyak kuil Shinto lainnya di Jepang, orang-orang
mengenakan jubah putih saat mengangkut “Omikoshi”, persis seperti yang
dilakukan Israel. Para pendeta Budha mengenakan jubah berwarna yang
mewah. Tapi dalam agama Shinto Jepang, putih dianggap sebagai warna
paling suci.
Kaisar Jepang, setelah ia menyelesaikan upacara kenaikan tahta,
datang sendirian ke hadapan dewa Shinto. Saat pergi ke sana, ia
mengenakan jubah berwarna putih polos di seluruh tubuhnya. Sementara
kakinya tidak mengenakan apa-apa. Hal ini sama dengan ketika Musa dan
Joshua melepas alas kaki mereka di hadapan Tuhan (Eksodus 3:5, Joshua
5:15).
Marvin Tokayer, seorang rabbi yang tinggal di Jepang selama 10 tahun, menulis dalam bukunya:
“Jubah linan yang dikenakan oleh pendeta Shinto Jepang memiliki
bentuk yang sama dengan jubah linan putih pada para pendeta Israel
kuno.”
Jubah para pendeta Shinto Jepang memiliki tali sepanjang 20-30 cm
(sekitar 10 inchi) yang menggantung dari sudut jubah. Keberadaan bagian
yang menjuntai ini (fringe/jumbai) merupakan kebiasaan orang-orang Israel. Deuteronomy 22:12 mengatakan:
“Buatlah menggantung di sudut pakaian mereka sepanjang generasi.”
Fringe (tassel/jumbai) merupakan sebuah tanda bahwa
seseorang adalah kaum Israel. Dalam ajaran Perjanjian Baru, juga
tertulis bahwa para Pharisee (anggota sekte Yahudi kuno-pen)
“memanjangkan jumbai pada pakaian mereka” (Matius 23:5). Seorang wanita
yang sedang mengalami pendarahan datang pada Yesus (Yeshua) dan
menyentuh “jumbai pada mantel-Nya” (Matius 9:20, Perjanjian Baru:
Translation in the Language of the People, diterjemahkan oleh Charles B.
Williams). Pakaian Israel kuno kadang kala tidak memiliki jumbai. Namun
jubah mereka benar-benar memiliki jumbai. Menurut tradisi, Tallit
Yahudi (syal untuk beribadah), yang dipakai oleh Yahudi ketika berdoa,
memiliki jumbai pada sudut-sudutnya.
Pendeta Shinto Jepang memasangkan kain berbentuk persegi pada jubah mereka, dari bahu hingga paha. Ini sama dengan ephod yang dipakai oleh David:
“David juga mengenakan ephod dari linan.” (Kejadian 1 15:27)
Meskipun ephod yang dikenakan pendeta tinggi dipenuhi warna dengan
adanya permata, pendeta biasa, yang tingkatnya berada di bawahnya,
mengenakan ephod dari kain linan putih yang sederhana (Samuel 1
22:18). Rabbi Tokayer mengatakan bahwa kain persegi yang menempel pada
jubah pendeta Shinto Jepang terlihat sangat mirip dengan ephod Kohen,
pendeta Yahudi.
Pendeta Shinto Jepang meletakkan topi di kepalanya, persis seperti
yang dilakukan pendeta Yahudi (Eksodus 29:40). Pendeta Jepang juga
memasang ikat/selempang di pinggangnya. Begitu pula halnya dengan
pendeta Israel. Pakaian para pendeta Shinto Jepang pasti merupakan
pakaian yang digunakan oleh Israel kuno.
Melambaikan hasil panen juga merupakan kebiasaan di Jepang
Orang-orang Yahudi melambaikan hasil panen mereka, berupa tumpukan padi, 7 minggu sebelum Shavuot (Pentecost, Leviticus 23:10-11). Mereka juga melakukannya pada saat Feast of Booths (Sukkot, Leviticus 23:40). Ini telah menjadi tradisi sejak masa Musa. Pendeta Israel kuno juga melambaikan sebuah ranting tanaman ketika melakukan penyucian terhadap seseorang. David mengatakan, “Bersihkan diriku dengan hyssop (herbal aromatik berupa semak kecil, dulu sering dipakai untuk pengobatan-pen), dan aku akan menjadi bersih” [Mazmur 51:7(9)]. Ini juga merupakan adat-istiadat tradisional Jepang.
Orang-orang Yahudi melambaikan hasil panen mereka, berupa tumpukan padi, 7 minggu sebelum Shavuot (Pentecost, Leviticus 23:10-11). Mereka juga melakukannya pada saat Feast of Booths (Sukkot, Leviticus 23:40). Ini telah menjadi tradisi sejak masa Musa. Pendeta Israel kuno juga melambaikan sebuah ranting tanaman ketika melakukan penyucian terhadap seseorang. David mengatakan, “Bersihkan diriku dengan hyssop (herbal aromatik berupa semak kecil, dulu sering dipakai untuk pengobatan-pen), dan aku akan menjadi bersih” [Mazmur 51:7(9)]. Ini juga merupakan adat-istiadat tradisional Jepang.
Ketika pendeta Jepang melakukan penyucian terhadap seseorang atau
sesuatu, ia melambaikan sebuah ranting tanaman. Atau melambaikan
“harainusa”, yang sangat serupa dengan ranting tanaman. “Harainusa” di
masa sekarang lebih sederhana dan terbuat dari kertas putih yang dilipat
membentuk zig-zag seperti petir kecil, namun di zaman dahulu
“harainusa” adalah sebuah ranting tanaman atau rumput.
Seorang wanita Jepang beragama Kristen yang saya kenal, sebelumnya
menganggap bahwa “harainusa” ini serupa dengan kebiasaan pagan. Namun ia
kemudian pergi ke Amerika Serikat dan memperoleh kesempatan menghadiri
sebuah pertemuan Sukkot. Saat ia melihat seorang Yahudi yang sedang
melambaikan seikat hasil panen, ia berkata dalam hatinya, “Wah, ini sama
dengan yang dilakukan oleh pendeta Jepang! Di sinilah rumah untuk orang
Jepang berada.”
Struktur kuil Shinto Jepang sama dengan tempat ibadat (God’s Tabernacle) Israel Kuno
Bagian dalam tempat ibadat Israel kuno terbagi menjadi 2 bagian. Yang pertama adalah Holy Place, dan yang kedua adalah Holy of Holies. Begitu pun halnya dengan kuil Shinto Jepang, terbagi menjadi 2 bagian.
Bagian dalam tempat ibadat Israel kuno terbagi menjadi 2 bagian. Yang pertama adalah Holy Place, dan yang kedua adalah Holy of Holies. Begitu pun halnya dengan kuil Shinto Jepang, terbagi menjadi 2 bagian.
Fungsi-fungsi yang terdapat pada kuil Jepang serupa dengan tempat
ibadat Israel. Orang-orang Jepang beribadat di depan Holy Place yang ada
di kuil. Mereka tidak dapat memasuki Holy Place. Hanya pendeta Shinto
yang boleh masuk. Pendeta Shinto memasuki Holy of Holies hanya pada
saat-saat tertentu. Ini sama halnya dengan tempat ibadat Israel.
Holy of Holies di kuil Shinto Jepang terletak di sebelah barat,
persis seperti Holy of Holies pada tempat ibadat Israel. Holy of Holies
Shinto juga berada satu tingkat lebih tinggi daripada Holy Place, di
antara Holy of Holies dan Holy Place terdapat anak tangga. Para ilmuwan
mengatakan bahwa, dalam kuil Israel yang dibangun oleh Solomon, Holy of
Holies juga berada pada tingkat yang lebih tinggi, dan di antara Holy of
Holies dan Holy Place terdapat anak tangga selebar 2,7 meter (9 kaki).
Di bagian depan kuil Jepang terdapat 2 patung singa, disebut
“komainu”, yang berdiri di kedua sisi jalan. Kedua patung tersebut
bukanlah berhala, tapi penjaga kuil. Hal ini pun merupakan salah satu
kebiasaan Israel kuno. Di kuil Tuhan Israel dan istana Solomon, terdapat
patung-patung atau relief-relief singa (Raja-raja 1 7:36, 10:19).
Dalam
sejarah awal Jepang, tak pernah ada penggunaan singa. Tapi patung singa
tersebut telah diletakkan di kuil-kuil Jepang sejak zaman kuno. Hal ini
dibuktikan oleh para ilmuwan bahwa patung singa yang ada di bagian
depan kuil-kuil Jepang berasal dari Timur Tengah.
Dekat pintu masuk kuil Jepang, terdapat “temizuya”, yaitu tempat bagi
para penyembah untuk mencuci tangan dan mulut. Ini sama dengan yang
ditemukan pada sinagog Yahudi. Tempat ibadat dan kuil Israel kuno juga
memiliki laver, untuk mencuci dan bersuci, dekat pintu masuk.
Di bagian depan kuil Jepang, terdapat gerbang, yang disebut “torii”.
Gerbang dengan model seperti ini tidak ada di China atau Korea, ini khas
Jepang. Gerbang “torii” terdiri dari 2 pilar vertikal dan sebuah palang
yang menghubungkan bagian atas pilar. Tapi bentuk yang paling kuno
hanya terdiri dari 2 pilar dan sebuah tali yang menghubungkan pilar.
Ketika seorang pendeta Shinto menunduk pada gerbang, ia menunduk kepada 2
pilar tersebut secara terpisah. Maka diasumsikan bahwa gerbang “torii”
tersebut pada awalnya hanya terdiri dari dua pilar.
Pada kuil Israel, terdapat 2 pilar yang digunakan sebagai gerbang
(Raja-raja 1 7:21). Dan dalam bahasa Aramaik, yang digunakan oleh Israel
kuno, kata gerbang adalah “taraa”. Kata ini mungkin berubah sedikit dan
menjadi kata Jepang, “torii”. Beberapa “torii”, terutama pada kuil tua,
bercat merah. Saya menduga bahwa ini merupakan gambaran mengenai 2 pos
pintu, termasuk kayu horizontalnya, yang terkena darah anak biri-biri
pada malam sebelum eksodus Israel dari Mesir.
Dalam agama Shinto Jepang, ada sebuah kebiasaan
melingkupi/mengelilingi tempat suci dengan sebuah tali yang disebut
“shimenawa”, yang mana tali ini memiliki sarung (terbuat dari kertas
putih) yang dimasukkan sepanjang tali. Tali “shimenawa” ini dipasang
sebagai pembatas. Bibel mengatakan bahwa saat Musa memberikan en
Commandment dari Tuhan, di Gunung Sinai, ia “memasang pembatas” (Eksodus
19:12) di sekeliling gunung supaya kaum Israel tidak mendekatinya.
Meski saya tidak tahu apa yang digunakan sebagai “pembatas” tersebut,
pasti ada tali atau yang lain yang dipasang sebagai pembatas. Jika
demikian, maka tali “shimenawa” Jepang mungkin merupakan satu kebiasaan
yang berasal dari zaman Musa.
Satu-satunya perbedaan besar antara kuil Jepang dan kuil Israel kuno
adalah bahwa kuil Jepang (Shinto) tidak memiliki altar pembakaran untuk
pengorbanan hewan. Sebelumnya saya penasaran mengapa agama Shinto tak
memiliki kebiasaan mengorbankan hewan, jika benar bahwa Shinto berasal
dari agama Israel kuno. Tapi kemudian saya menemukan jawabannya dalam
Deuteronomy chapter 12. Musa memerintahkan kaumnya untuk tidak melakukan
pengorbanan hewan di tempat lain selain tempat khusus di Kanaan
(12:10-14). Jadi, jika Israel datang ke Jepang kuno, mereka tidak
diperbolehkan melakukan pengobanan hewan.
Banyak kebiasaan Jepang yang menyerupai kebiasaan Israel kuno
Saat orang-orang Jepang beribadat di depan Holy Place di kuil Shinto, mereka pertama-tama membunyikan bel emas yang tergantung di pusat pintu masuk. Ini adalah kebiasaan Israel kuno. Pendeta tinggi, Aaron, meletakkan “bel emas” di keliman (batas pakaian dimana pinggirnya dilipat dan dijahit) jubahnya. Sehingga dengan demikian suara bel dapat terdengar dan sang pendeta takkan mati ketika melakukan pelayanan di sana (Eksodus 28:33-35).
Saat orang-orang Jepang beribadat di depan Holy Place di kuil Shinto, mereka pertama-tama membunyikan bel emas yang tergantung di pusat pintu masuk. Ini adalah kebiasaan Israel kuno. Pendeta tinggi, Aaron, meletakkan “bel emas” di keliman (batas pakaian dimana pinggirnya dilipat dan dijahit) jubahnya. Sehingga dengan demikian suara bel dapat terdengar dan sang pendeta takkan mati ketika melakukan pelayanan di sana (Eksodus 28:33-35).
Orang-orang Jepang bertepuk tangan 2 kali ketika beribadat di depan
Holy Place. Ini, di masa Israel kuno, merupakan kebiasaan yang memiliki
arti bahwa “I keep promises” (saya berjanji). Dalam Injil, Anda dapat
menemukan kata yang diterjemahkan sebagai “pledge” (janji). Pengertian
aslinya dalam bahasa Hebrew adalah “clap his hand” (menepukkan kedua
tangannya/bertepuk tangan) (Ezekiel 17:18, Amsal Sulaiman 6:1).
Tampaknya orang-orang Israel kuno selalu melakukan tepuk tangan ketika
berjanji atau ketika melakukan sesuatu yang penting.
Orang-orang Jepang menunduk di depan kuil sebelum dan sesudah
bertepuk tangan dan beribadat. Mereka juga menunduk sebagai salam
penghormatan ketika bertemu. Menunduk juga merupakan kebiasaan Israel
kuno. Jacob menunduk saat ia mendekati Esau (Genesis 33:3). Saya telah
memperhatikan bahwa orang-orang Yahudi modern tidak memiliki kebiasaan
menunduk. Namun, mereka menunduk ketika membacakan doa. Orang-orang
Ethiopia modern memiliki kebiasaan menunduk, mungkin disebabkan oleh
Yahudi kuno yang bermigrasi ke Ethiopia di zaman dahulu. Cara orang
Ethiopia menunduk serupa dengan cara orang Jepang.
Kami, orang Jepang, memiliki kebiasaan menggunakan garam untuk
penyucian. Penduduk terkadang menaburkan garam setelah orang jahat
beranjak pergi. Ketika saya menonton drama TV dari masa Samurai, saya
melihat seorang wanita melempar garam ke tempat dimana seorang pria yang
ia benci beranjak pergi. Kebiasaan ini sama dengan Israel kuno. Setelah
Abimelech merebut kota musuh, “ia menaburinya dengan garam” (Judge
9:45). Kami, orang Jepang, dapat cepat memahami bahwa ini sama artinya
dengan membersihkan dan menyucikan kota.
Saya mendengar bahwa saat orang Yahudi pindah ke rumah baru, ia
menaburinya dengan garam untuk menyucikan dan membersihkannya.
Lagi-lagi, hal ini sama dengan yang ada di Jepang. Di restoran khas
Jepang, sang pemilik biasanya meletakkan garam di dekat pintu masuk.
Yahudi juga menggunakan garam untuk daging Kosher. Semua daging Kosher
dimurnikan dengan garam dan semua makanan diawali dengan roti dan garam.
Orang Jepang meletakkan garam di pintu masuk pemakaman. Setelah
kembali dari pemakaman, seseorang harus menaburkan garam kepada
seseorang yang lain sebelum ia (orang yang ditaburi garam-pen) memasuki
rumahnya, karena dalam agama Shinto terdapat anggapan bahwa semua orang
yang pergi ke pemakaman atau menyentuh mayat menjadi tidak bersih.
Lagi-lagi, konsep yang sama dengan yang ada pada Israel.
Pegulat Jepang, “sumo”, menaburi ring sumo dengan garam sebelum
mereka bertarung. Orang-orang Amerika dan Eropa penasaran mengapa mereka
menaburkan garam. Namun Rabbi Tokayer menulis bahwa kaum Yahudi dapat
cepat memahami maknanya. Orang Jepang mempersembahkan garam setiap kali
mereka melaksanakan persembahan keagamaan. Ini sama dengan kebiasaan
yang dilakukan oleh Israel, karena Bibel mengatakan: “Saat kau melakukan
persembahan, kau harus mempersembahkan garam” (Leviticus 2:13). Orang
Jepang zaman kuno memiliki kebiasaan memasukkan garam saat mandi pertama
bayi. Orang Israel kuno membasuh bayi yang baru lahir dengan air
setelah menggosok sang bayi dengan garam secara lembut (Ezekiel 16:4).
Penyucian dan pembersihan dengan menggunakan garam dan/atau air
merupakan kebiasaan umum pada orang Jepang dan Israel.
Dalam Injil berbahasa Hebrew, kata “clean” (bersih) atau “unclean”
(tidak bersih) sering muncul. Orang Amerika atau Eropa tidak familiar
dengan konsep ini. Tapi orang Jepang dapat dengan mudah memahaminya,
karena ini merupakan konsep penting dalam Shinto untuk menghargai
kebersihan dan menghindari ketidakbersihan. Lagi-lagi, mungkin saja
konsep ini berasal dari Israel kuno.
Dalam agama Shinto Jepang tidak ada berhala, sama halnya seperti dalam agama Israel
Kuil Budha memiliki berhala yang diukir dalam bentuk Budha dan dewa lainnya. Tapi dalam kuil Shinto Jepang tidak ada berhala. Di pusat Holy of Holies kuil Shinto, terdapat sebuah cermin, pedang, atau anting-anting. Namun para pemeluk Shinto tidak menganggap benda-benda tersebut sebagai dewa mereka. Dalam agama Shinto, dewa dianggap tidak terlihat. Cermin, pedang, dan anting-anting tersebut, bukanlah berhala, tapi hanya sebagai objek untuk menunjukkan bahwa tempat itu merupakan tempat suci dimana dewa, yang tak terlihat, turun.
Kuil Budha memiliki berhala yang diukir dalam bentuk Budha dan dewa lainnya. Tapi dalam kuil Shinto Jepang tidak ada berhala. Di pusat Holy of Holies kuil Shinto, terdapat sebuah cermin, pedang, atau anting-anting. Namun para pemeluk Shinto tidak menganggap benda-benda tersebut sebagai dewa mereka. Dalam agama Shinto, dewa dianggap tidak terlihat. Cermin, pedang, dan anting-anting tersebut, bukanlah berhala, tapi hanya sebagai objek untuk menunjukkan bahwa tempat itu merupakan tempat suci dimana dewa, yang tak terlihat, turun.
Dalam tabut perjanjian Israel kuno, terdapat lembaran-lembaran dari batu (tablet of stone) yang memuat Ten Commandments, botol berisi manna
(makanan surga/makanan yang diturunkan Allah swt-pen), dan tongkat
Aaron. Benda-benda ini bukan berhala, tapi hanya objek untuk menunjukkan
bahwa itu adalah tempat suci dimana Tuhan, yang tak terlihat, turun.
Kita bisa mengatakan hal yang sama berkaitan dengan keberadaan
benda-benda tersebut dalam kuil Jepang.
Orang Jepang kuno memiliki kepercayaan pada Yahweh!?
Terdapat satu perbedaan besar, yaitu, agama Shinto mempercayai banyak dewa, sedangkan agama Israel (Yahudi) hanya mempercayai satu Tuhan.
Terdapat satu perbedaan besar, yaitu, agama Shinto mempercayai banyak dewa, sedangkan agama Israel (Yahudi) hanya mempercayai satu Tuhan.
Namun, berbeda dari Yudaisme modern, agama orang Israel kuno
(khususnya 10 suku Israel yang hilang, Ten Lost Tribe of Israel)
cenderung menyembah berhala dan memiliki kepercayaan politeistik
(mempercayai banyak tuhan). Mereka tidak hanya mempercayai satu tuhan,
Yahweh, tapi juga Baal, Asytaroth, Molech, dan tuhan pagan lainnya.
Praktis agama Israel kuno bukan agama monoteistik. Kepercayaan
politeistik Shinto tampaknya berasal dari kecenderungan Israel kuno yang
politeis. Para agamawan Shinto mengatakan bahwa dewa agama Shinto,
“Susanoh”, dalam beberapa aspek mirip dengan Baal, dan dewa perempuan
agama Shinto, “Amaterasu”, mirip dengan Aystaroth.
Hingga 40 dekade yang lalu, di Gunung Inomure (prefektur Ooita),
masyarakat selalu mengadakan upacara untuk meminta hujan. Mereka
mengumpulkan kayu-kayu yang membentuk Bintang David untuk membuat
fondasi, kemudian di atasnya dibangun sebuah menara dari cabang-cabang
pohon, lalu di puncak menara diletakkan tiang bambu yang diikat dengan
kulit ular. Mereka membakar menara tersebut dan berdoa meminta hujan.
Ini mengingatkan kita pada cerita mengenai Israel kuno yang sering
membakar kemenyan pada ular perunggu (yang dibuat oleh Musa) di sebuah
tiang hingga pemerintahan King Hezekiah (Raja-raja 2 18:4).
Meskipun Shinto merupakan agama politeis, saya pikir ada kemungkinan
bahwa Shinto kuno juga pernah memiliki kepercayaan pada Yahweh.
Dewa Shinto yang pertama kali lahir, di antara dewa-dewa lainnya, disebut “Amenominakanushi-no-kami”. Dewa ini disebut sebagai dewa yang pertama kali muncul, tinggal di tengah-tengah alam semesta, tidak memiliki bentuk, tidak mati, penguasa (yang tak terlihat) alam semesta, dan tuhan yang mutlak, mirip dengan tuhan dalam Bibel yaitu sebagai Penguasa alam semesta.
Dewa Shinto yang pertama kali lahir, di antara dewa-dewa lainnya, disebut “Amenominakanushi-no-kami”. Dewa ini disebut sebagai dewa yang pertama kali muncul, tinggal di tengah-tengah alam semesta, tidak memiliki bentuk, tidak mati, penguasa (yang tak terlihat) alam semesta, dan tuhan yang mutlak, mirip dengan tuhan dalam Bibel yaitu sebagai Penguasa alam semesta.
Para arkeolog mengatakan bahwa agama-agama Babilon dan Mesir pada
awalnya mempercayai satu dewa/tuhan yang disebut “the god of sky”, yang
mana sepertinya memiliki keterkaitan dengan “God of heaven” versi Bibel.
Kemudian, agama-agama mereka mengalami degradasi (degraded)
menjadi politeisme. Saya pikir kita bisa mengatakan bahwa hal ini juga
terjadi pada agama Shinto. Saya menduga agama Shinto kuno memiliki
kepercayaan pada Tuhan Yahweh, tapi kemudian memburuk (degenerated) menjadi politeisme. Saya percaya bahwa orang Jepang seharusnya kembali mempercayai tuhan (yang esa) yang diajarkan Bibel.
Seorang teman saya yang beragama Kristen, Tsuji, suatu kali pernah
menceritakan pada saya sebuah kisah. Suatu hari temannya, seorang
pemeluk Shinto yang taat, datang padanya. Si pemeluk Shinto ini membawa
Bibel dan berkata pada Tsuji dengan penuh semangat:
“Saya membaca Torah. Saya sangat terkejut saat mengetahui upacara
keagamaan Israel kuno. Bentuknya sama dengan Shinto! Bentuk festivalnya,
bentuk kuilnya, cara menghargai kebersihan, semuanya sama dengan
Shinto!” Lalu Tsuji berkata padanya:
“Ya, saya juga telah mengetahuinya. Jika sudah tahu, mengapa kau
tidak mempercayai tuhan yang diajarkan Bibel? Saya percaya bahwa ini
adalah jalan untuk membangun dan mendapatkan kembali agama Shinto sejati
yang kau yakini.” Setelah mendengar ucapan ini, untuk beberapa saat, si
pemeluk Shinto terkejut sehingga tak bisa mengatakan sepatah kata.
Ucapan Tsuji sama dengan perasaan yang saya miliki terhadap semua
pemeluk Shinto di Jepang. Saya berdoa semoga semua orang Jepang kembali
mempercayai Tuhan Bibel. Karena Dia juga adalah Bapak bangsa Jepang.
Festival-festival di Jepang mirip dengan festival-festival Israel kuno
Di masa kini, kami, orang Jepang, merayakan tahun baru pada 1 Januari, tapi menurut sejarah kami menggunakan kalender komariyah/bulan (lunar calender), dimana 15 Januari merupakan tanggal resmi untuk perayaan tahun baru. Saat perayaan, orang Jepang memiliki kebiasaan memakan “mochi” (rice cakes/kue nasi) selama 7 hari berturut-turut. Ini serupa dengan kebiasaan Yahudi, karena Bibel menyatakan:
Di masa kini, kami, orang Jepang, merayakan tahun baru pada 1 Januari, tapi menurut sejarah kami menggunakan kalender komariyah/bulan (lunar calender), dimana 15 Januari merupakan tanggal resmi untuk perayaan tahun baru. Saat perayaan, orang Jepang memiliki kebiasaan memakan “mochi” (rice cakes/kue nasi) selama 7 hari berturut-turut. Ini serupa dengan kebiasaan Yahudi, karena Bibel menyatakan:
“Dan hari ke-15 di bulan yang sama (bulan ke-1) adalah Feast of
Unleavened Bread to the Lord (Pesta Roti -yang Tak Diadon- untuk
Tuhan-pen); 7 hari kau harus memakan roti yang tak diadon.” (Leviticus 23:6)
Resep “roti tak diadon” (unleavened bread) ini sama dengan
“mochi” Jepang, karena jika Anda menggunakan nasi, bukan tepung terigu,
sebagai bahannya, maka akan menjadi “mochi” Jepang. Kata dalam Hebrew
untuk “unleavened bread” adalah “matsah”. Saya tidak percaya bahwa,
secara kebetulan, dua kata ini (“mochi” dan “matsah”) terdengar sama.
Selain itu, orang Jepang juga memakan bubur dengan 7 jenis herbal
(jamu/ramuan bumbu/tumbuhan bumbu-pen) pahit selama perayaan. Dalam
sejarah, orang-orang memakan herbal pada 15 Januari. Israel kuno juga
makan “dengan herbal pahit” pada tanggal 15 bulan pertama (Eksodus
12:8).
Di Jepang, kita memiliki festival-festival “Gion” yang diadakan di
banyak lokasi selama musim panas. Festival yang terpenting adalah yang
diadakan di kuil Shinto “Yasaka-jinja” di Kyoto. Festival di Kyoto ini
berlanjut sepanjang Juli, setiap tahun. Tapi, bagian terpenting dalam
festival ini diadakan dari tanggal 17 sampai 25 Juli (kami, orang
Jepang, menyebutnya “bulan ketujuh”). Anggal 1 dan 10 Juli juga
merupakan hari yang penting. Ini sudah menjadi tradisi sejak zaman kuno.
Tapi, tanggal 17 di bulan ketujuh adalah hari dimana bahtera Nuh
singgah di Ararat:
“Kemudian bahtera tersebut beristirahat, di bulan ketujuh, hari ketujuh belas, di pegunungan Ararat.” (Genesis 8:4)
Kita bisa menduga bahwa Israel kuno mengadakan pesta thanksgiving
di hari tersebut. Tapi setelah Musa datang, diganti dengan Feast of
Booths (festival hasil panen) yang diadakan pada tanggal 1 dan 10 bulan
ke-7, dan selama 8 hari sejak tanggal 15 bulan ke-7 (Bilangan 29:1, 7,
12, 35).
Festival “Gion” di Kyoto dimulai dengan harapan bahwa tak ada
wabah/hama yang menimpa penduduk. Ini serupa dengan yang dilakukan oleh
Raja Solomon, dengan harapan tak ada wabah/hama di negaranya, pesta
diadakan selama 8 hari berturut-turut (termasuk hari pertemuan terakhir)
mulai tanggal 15 bulan ke-7 (Kejadian 2 7:8-10). Sekitar 120 tahun
lalu, seorang pengusaha dari Skotlandia, N. Mcleod, datang ke Jepang dan
meneliti kebiasaan yang ada di Jepang. Ia menulis sebuah buku berjudul
“Epitome of Japanese Ancient History” (Ringkasan Sejarah Kuno Jepang).
Dalam buku tersebut, ia menulis bahwa festival “Gion” di Kyoto sangat
mirip dengan festival-festival Yahudi. Rabbi Tokayer memberikan komentar
yang serupa. Ia mengatakan bahwa nama “Gion” mengingatkannya pada
“Zion” yang merupakan nama lain untuk Yerusalem. Faktanya, Kyoto dulu
disebut “Heian-kyo” yang berarti “peace” (damai). Yerusalem dalam bahasa
Hebrew juga memiliki arti “peace”. “Heian-kyo” mungkin adalah bahasa
Jepang untuk “Yerusalem”.
Dalam festival “Gion” di Kyoto, orang-orang memulai festival dengan
teriakan “en-yara-yah”. Kami, orang Jepang, tidak mengerti arti dari
kata Jepang ini. Namun, Eiji Kawamorita, seorang ilmuwan dan pastor
Kristen asal Jepang yang menguasai bahasa Hebrew, menulis dalam bukunya
bahwa kata ini berasal dari ekspresi Hebrew, “eni ahalel yah”, yang
berarti “I praise Yahweh (the Lord)” (saya memuji Yahweh (Tuhan) /
segala puji bagi Yahweh (Tuhan)).
Beberapa kata Jepang kuno berasal dari bahasa Hebrew
Joseph Eidelberg, seorang Yahudi yang pernah datang ke Jepang dan tinggal selama bertahun-tahun di sebuah kuil Shinto Jepang, menulis buku berjudul “The Japanese and the Ten Lost Tribes of Israel”. Ia menulis bahwa banyak kata-kata dalam bahasa Jepang yang berasal dari Hebrew kuno.
Joseph Eidelberg, seorang Yahudi yang pernah datang ke Jepang dan tinggal selama bertahun-tahun di sebuah kuil Shinto Jepang, menulis buku berjudul “The Japanese and the Ten Lost Tribes of Israel”. Ia menulis bahwa banyak kata-kata dalam bahasa Jepang yang berasal dari Hebrew kuno.
Sebagai contoh, kami, orang Jepang, menggunakan “hazukashime” untuk
mempermalukan atau menghina. Dalam Hebrew, kata yang digunakan adalah
“hadak hashem” (tread down the name / menginjak-injak nama seseorang,
lihat Job 40:12). Makna dan pelafalan kedua kata tersebut hampir sama.
Kami menggunakan “anta” untuk mengatakan “you” (kau/kamu), sama
dengan bahasa Hebrew. Raja-raja Jepang kuno dipanggil dengan kata
“mikoto”, yang barangkali berasal dari kata Hebrew, “malhuto”, yang
berarti “his kingdom” (kerajaannya). Kami menyebut Kaisar Jepang
“mikado”. Kata ini mirip dengan kata Hebrew, “migadol”, yang berarti
“the noble” (bangsawan/mulia). Kata dalam Jepang kuno untuk seorang
pimpinan wilayah (area leader) adalah “agata-nushi”; “agata” sama dengan
“area”, “nushi” sama dengan “leader”. Dalam bahasa Hebrew “area leader”
disebut “aguda” “nasi”.
Ketika kami, orang Jepang, menghitung, “Satu, dua, tiga… sepuluh,”
terkadang kami mengatakan: “Hi, fu, mi, yo, itsu, mu, nana, ya, kokono,
towo.”
Ini adalah ungkapan tradisional, tapi kami, orang Jepang, tidak
mengetahui apa artinya jika kami memikirkannya sebagai orang Jepang.
Konon, ungkapan ini berasal dari mitos Jepang kuno. Dalam mitos
Shinto, dewa perempuan yang disebut “Amaterasu”, yang mengatur cahaya
matahari di dunia, suatu kali bersembunyi di dalam gua di langit/surga,
lalu dunia menjadi gelap. Kemudian, menurut buku tertua sejarah Jepang,
seorang pendeta yang disebut “Koyane” berdoa di depan gua tersebut dan
di depan dewa-dewa lainnya untuk membuat “Amaterasu” keluar. Meski
kata-kata yang diucapkan dalam doa itu tidak disebutkan dalam buku ini,
sebuah legenda mengatakan bahwa kata-kata itu adalah “Hi, fu, mi…”
Joseph Eidelberg menulis bahwa ini merupakan ungkapan Hebrew yang
indah, jika kita anggap bahwa melalui rentang sejarah terjadi beberapa
perubahan dalam pelafalan. Kata-kata tersebut diejakan sebagai berikut:
“Haiafa mi yotsia ma naane ykakhena tavo.”
Yang berarti: “Siapa yang dapat mengeluarkan sang cantik? Kata-kata
apa yang dapat kami ucapkan untuk membuatnya keluar?” (Who shall bring
out the beautiful? What words shall we say for her to come out?) Ini,
secara mengejutkan, cocok dengan situasi dalam mitos Shinto di atas.
Selain itu, kami, orang Jepang, tidak hanya mengucapkan “Hi, hu,
mi…,” tapi juga mengucapkan kata-kata berikut (yang artinya sama):
“Hitotsu, futatsu, mittsu, yottsu, itsutsu, muttsu, nanatsu, yattsu, kokonotsu, towo.”
Di sini, “totsu” atau “tsu” diletakkan pada “Hi, hu, mi,… (dan
seterusnya)” sebagai bagian (partikel) akhir kata. Namun kata yang
terakhir, “towo” (yang berarti sepuluh), tidak berubah. “Totsu” mungkin
adalah kata Hebrew, “tetse”, yang berarti “She comes out” (ia keluar).
Dan “tsu” mungkin adalah kata Hebrew, “tse”, yang berarti “Come out”
(keluar). Eidelberg menganggap bahwa kata-kata ini diucapkan oleh
dewa-dewa yang berada di sekeliling pendeta “Koyane”. Jadi, ketika
“Koyane” mengucapkan “Hi”, dewa-dewa yang ada di sekelilingnya
menambahkan “totsu” (She comes out) sebagai jawaban, dan selanjutnya
ketika “Koyane” mengucapkan “Fu”, para dewa menambahkan “totsu” (tatsu),
begitu seterusnya. Dengan demikian, kata-kata tersebut menjadi
“Hitotsu, futatsu, mittsu….” Namun kata yang terakhir, “towo”, yang
diucapkan secara bersama-sama oleh “Koyane” dan para dewa, jika ini
merupakan kata Hebrew, “tavo”, artinya adalah “(She) shall come” (Dia
akan datang). Ketika mereka mengucapkan kata ini, sang dewa perempuan,
“Amaterasu”, keluar. “Hi, fu, mi…” dan “Hitotsu, futatsu, mittsu…”
kemudian digunakan sebagai kata-kata untuk menghitung nomor.
Sebagai tambahan, nama pendeta, “Koyane”, terdengar dekat dengan kata
Hebrew, “kohen”, yang berarti pendeta. Eidelberg menunjukkan banyak
contoh kata Jepang lainnya yang terlihat berasal dari Hebrew. Daftar
yang ia buat memuat ribuan kata. Saya tidak percaya bahwa ini hanya
kebetulan belaka.
Dalam musik rakyat (folk song) Jepang kuno, banyak muncul
kata-kata yang tidak bisa kami pahami sebagai orang Jepang. Dr. Eiji
Kawamorita mengatakan bahwa banyak kata-kata yang terdapat dalam musik
rakyat merupakan bahasa Hebrew. Sebuah musik rakyat Jepang di prefektur
Kumamoto dinyanyikan “Hallelujah, haliya, haliya, tohse, Yahweh, Yahweh,
yoitonnah….” Ini juga terdengar seperti bahasa Hebrew.
Suku-suku Israel yang Hilang (the Lost Tribes of Israel) datang ke Jepang Kuno
Israel kuno terbagi ke dalam 2 negara; pertama, kerajaan Judah (di sebelah selatan), kedua, kerajaan Israel (di sebelah utara). Pada tahun 70 Masehi, penduduk kerajaan Judah menyebar ke seluruh dunia. Terdapat beberapa bukti bahwa kaum Yahudi melintasi jalur sutra dan pergi mencapai Jepang. Tapi, bagaimana dengan penduduk kerajaan Israel? Buku sejarah kuno ‘the fourth book of Ezra’ mengatakan bahwa Sepuluh Suku dari kerajaan Israel pergi ke arah timur dan berjalan selama satu setengah tahun menuju tanah yang jauh. Bibel juga mengatakan, dalam Isaiah 11:12:
Israel kuno terbagi ke dalam 2 negara; pertama, kerajaan Judah (di sebelah selatan), kedua, kerajaan Israel (di sebelah utara). Pada tahun 70 Masehi, penduduk kerajaan Judah menyebar ke seluruh dunia. Terdapat beberapa bukti bahwa kaum Yahudi melintasi jalur sutra dan pergi mencapai Jepang. Tapi, bagaimana dengan penduduk kerajaan Israel? Buku sejarah kuno ‘the fourth book of Ezra’ mengatakan bahwa Sepuluh Suku dari kerajaan Israel pergi ke arah timur dan berjalan selama satu setengah tahun menuju tanah yang jauh. Bibel juga mengatakan, dalam Isaiah 11:12:
“Dia (Tuhan)…akan mengumpulkan orang Israel yang terusir, dan menghimpun orang Judah yang tersebar dari empat sudut bumi.”
Kata “tersebar” (dispersed) digunakan untuk orang Judah, sedangkan kata “terusir” (outcast/orang
buangan/orang yang terusir) digunakan untuk orang Israel. Sepuluh suku
dari utara (orang Israel-pen) terusir ke sebuah negeri yang jauh, bukan
“tersebar”. Gerombolan utamanya pasti pergi ke sebuah negara yang jauh
dari Israel.
Ada bukti kuat mengenai kehadiran Israel di Afghanistan, Kashmir,
India, dan China. Berdasarkan buku sejarah China, pada masa abad ke-2 SM
di China, terdapat orang-orang Israel yang memiliki kebiasaan
melaksanakan khitanan. Sepuluh suku Israel pasti bergerak ke timur dan
melewati negara-negara tersebut. Kita tidak bisa mengatakan bahwa
gerombolan utama Sepuluh Suku Israel mustahil datang ke Jepang.
Di zaman kuno, beberapa kelompok orang pindah ke Jepang dari China,
beberapa kelompok juga datang dari Rusia, dan beberapa dari Asia
Tenggara. Sebagian besar dari mereka adalah keturunan Mongoloid. Di
antara mereka ada kemungkinan gerombolan utama Sepuluh Suku Israel yang
Hilang juga datang ke Jepang.
Saya tidak yakin bahwa agama Jepang yang disebut Shinto beserta semua
adat/kebiasaannya berasal dari kerajaan Yahudi selatan (kerajaan
Judah). Namun, jika Suku-suku yang Hilang datang ke Jepang pada
awal-awal masa sejarah, maka dapat dimengerti jika agama dan kebiasaan
mereka memiliki pengaruh yang kuat terhadap Jepang. Berdasarkan
penelitian Dr. Kawamorita, dalam lagu-lagu rakyat Jepang kuno sering
muncul nama suci Tuhan, “Yahweh”. Orang Yahudi Judah tidak memakai nama
Yahweh, karena mereka berhenti melafalkan nama Yahweh sejak abad ke-3
SM. Sementara orang Israel tetap melafalkan nama Yahweh.
Nama resmi untuk Kaisar “Jinmu”, Kaisar pertama Jepang, adalah
“Kamu-yamatoiware-biko-sumera-mikoto”. Joseph Eidelberg mengatakan bahwa
nama ini bisa diterjemahkan dalam bahasa Hebrew menjadi “The king of
Samaria, the noble founder of the Hebrew nation of Yahweh” (Raja
Samaria, yang mulia pendiri bangsa Yahweh Hebrew). Ini tidak berarti
bahwa “Jinmu” sendiri benar-benar merupakan pendiri bangsa Hebrew, tapi
kenangan tentang bangsa Hebrew mungkin telah masuk ke dalam legenda
Kaisar pertama Jepang, “Jinmu”.
Namun bagaimana dengan kebiasaan khitanan? Takatoshi Kobayashi, salah
seorang putra Meiji-tennoh dan juga anggota keluarga Kerajaan Jepang,
yang kini menjadi pastur Kristen, mengatakan bahwa kaisar dan pangeran
Jepang dikhitan. Tapi, pengakuan ini adalah satu-satunya bukti, yang
saya ketahui, bahwa kebiasaan khitanan eksis di Jepang.
Studi Golongan Darah
Prof. Tanemoto Furuhata, otoritas kedokteran forensik di Universitas Tokyo, menulis dalam bukunya bahwa golongan darah orang Jepang dan Yahudi sangat mirip, dan dirinya terkejut saat mengetahui hal ini. Saya juga mendengar seorang profesor asal Universitas Paris telah menemukan bahwa kromosom “Y” pada orang Jepang berukuran sama dengan orang Yahudi.
Prof. Tanemoto Furuhata, otoritas kedokteran forensik di Universitas Tokyo, menulis dalam bukunya bahwa golongan darah orang Jepang dan Yahudi sangat mirip, dan dirinya terkejut saat mengetahui hal ini. Saya juga mendengar seorang profesor asal Universitas Paris telah menemukan bahwa kromosom “Y” pada orang Jepang berukuran sama dengan orang Yahudi.
Tapi saya berharap banyak orang melakukan penelitian yang lebih
dalam. Bukti yang meyakinkan, yang bisa membuktikan kepada semua orang
bahwa Sepuluh Suku yang Hilang dahulu datang ke Jepang, belum ditemukan.
Di bagian akhir, saya mengangkat rumor bahwa nama Tuhan pada cermin
suci yang tersimpan di sebuah kuil Shinto Jepang, “Ise-jingu”, tertulis
dalam bahasa Hebrew, sejak zaman kuno.
Rumor bahwa nama Tuhan pada cermin suci Ise tertulis dalam bahasa Hebrew
Di Imperial House of Japan, terdapat 3 harta berharga yang berasal dari mitos Jepang kuno. Ketiga benda tersebut adalah pedang, anting-anting permata, dan cermin. Di antara ketiga benda tersebut, cermin (yang disebut “Yata-no-kagami” (mirror of Yata/cermin Yata)) diletakkan di “Ise-jingu” yang merupakan kuil Shinto untuk Imperial House. Nyatanya, ada rumor bahwa nama Tuhan yang terdapat di bagian belakang cermin suci ini tertulis dalam bahasa Hebrew. Cermin ini dianggap sangat suci dan biasanya tak seorang pun yang diperbolehkan melihatnya. Namun ada beberapa orang yang bersikeras pernah melihatnya.
Di Imperial House of Japan, terdapat 3 harta berharga yang berasal dari mitos Jepang kuno. Ketiga benda tersebut adalah pedang, anting-anting permata, dan cermin. Di antara ketiga benda tersebut, cermin (yang disebut “Yata-no-kagami” (mirror of Yata/cermin Yata)) diletakkan di “Ise-jingu” yang merupakan kuil Shinto untuk Imperial House. Nyatanya, ada rumor bahwa nama Tuhan yang terdapat di bagian belakang cermin suci ini tertulis dalam bahasa Hebrew. Cermin ini dianggap sangat suci dan biasanya tak seorang pun yang diperbolehkan melihatnya. Namun ada beberapa orang yang bersikeras pernah melihatnya.
Kira-kira seratus tahun yang lalu, Arinori Mori, Menteri Pendidikan
Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Jepang pada masa itu, bersikeras
mengatakan bahwa ia pernah melihat bagian belakang cermin tersebut. Ia
mengatakan bahwa pada bagian tersebut tertulis nama Tuhan “I AM THAT I
AM” (Aku adalah Aku) dalam bahasa Hebrew, yaitu nama Tuhan yang
berbicara kepada Musa (Eksodus 3:14).
Setelah Perang Dunia II, Dr. Sakon, seorang profesor dari Universitas
Aoyama-gakuin, menyatakan bahwa dirinya telah melihat sebuah replika
cermin yang ada di Imperial Palace. Ia menyatakan bahwa pada replika
tersebut tertulis nama Tuhan “I AM THAT I AM” dalam bahasa Hebrew.
Konon, Yutaro Yano, pemeluk taat Shinto, melihat cermin itu dan
mencatat pola bagian belakang cermin. Yano berulang kali bertanya pada
seorang pendeta di Ise-jingu apakah dirinya boleh melihat cermin. Lalu
sang pendeta merasa terharu atas keinginan Yano yang kuat, dan kemudian
secara sembunyi-sembunyi mengizinkannya melihat cermin, selanjutnya Yano
secara hati-hati menyalin pola bagian belakang cermin.
Salinan ini dijaga selama bertahun-tahun oleh sebuah kelompok Shinto
bernama “Shinsei-Ryujinkai”, yang dipimpin oleh anak perempuan Yano.
Benda tersebut terus dirahasiakan oleh kelompok ini. Tapi kemudian,
mereka mengatakan bahwa ada “wahyu dari tuhan” untuk memperlihatkan
salinan cermin tersebut kepada Yang Mulia Mikasanomiya-Nya, adik
laki-laki Kaisar Hirohito (Showa Tennoh). Wadoh Kohsaka, seorang
peneliti Shinto, memiliki peranan dalam penyerahan salinan itu kepada
Mikasanomiya. Setelah itu, Kohsaka memutuskan untuk menunjukkan salinan
itu kepada publik, melalui bukunya, karena ia berpikir penting bagi
orang Jepang untuk mengetahuinya. Buku tersebut diterbitkan beberapa
tahun lalu.
Ada 2 teori tentang bagaimana menterjemahkan huruf-huruf di cermin
tersebut. Pertama, menterjemahkannya sebagai “Hifu-moji”, yang diyakini
sebagai salah satu “Jindai-moji” (huruf Jepang yang dianggap telah eksis
di Jepang kuno sebelum penulisan Kanji diimpor dari China). Kedua,
menterjemahkannya sebagai Hebrew kuno. Teori “Hifu-moji” berasal dari
Yano sendiri, tapi saya tidak mempercayai teori ini. Karena saya
menemukan beberapa kontradiksi dalam penterjemahan yang dilakukan Yano.
Dan tak ada yang tahu seperti apa bentuk Hifu-moji, jadi bagaimana bisa
kita mengakuinya sebagai Hifu-moji? Selain itu, semua “Jindai-moji” kuno
Jepang (yang dikenal) ditulis secara vertikal. Saya tidak pernah
melihatnya tertulis secara horizontal.
Beberapa orang meyakini bahwa 7 huruf di bagian dalam lingakaran
pusat cermin bisa dibaca sebagai “I AM THAT I AM” – dalam Hebrew adalah
“eheyeh asher eheyeh”, eheyeh dibaca dua kali. Sementara yang lain
meyakini bahwa 7 huruf tersebut bisa dibaca sebagai “Yahweh’s light”
(cahaya Yahweh) – dalam Hebrew adalah “or Yahweh” (or berarti cahaya).
Jika bisa dibaca sebagai “Yahweh’s light”, maka ini bisa menjadi alasan
mengapa dewa di Imperial House disebut “Amaterasu”, yang berarti dewa
cahaya (god of light) atau dewa matahari (god of the sun).
Dewa di Imperial House of Japan mungkin pada awalnya berasal dari God
of the Bible, tapi kemudian keyakinan kepada-Nya bercampur dengan
keyakinan pada “Amaterasu”. Orang-orang mulai memanggil dewa Imperial
House, dengan sebutan “Amaterasu”, karena di cermin tersebut tertulis
“Yahweh’s light” (Mazmur 36:9, 84:11).
Sedangkan mengenai huruf-huruf yang berada di luar lingkaran pusat,
seseorang meyakini bahwa itu adalah tulisan Yunani kuno. Namun beberapa
huruf di antaranya sama dengan yang ada di dalam lingkaran pusat. Jadi,
saya pikir huruf-huruf yang ada di dalam maupun di luar lingkaran pusat
berasal dari bahasa yang sama.
Saya pikir huruf-huruf ini juga terlihat seperti bahasa Aramaik, yang
digunakan oleh Israel kuno. Jika ada pembaca (huruf-huruf ini) yang
memiliki pemahaman yang berbeda, tolong beritahu saya. Kita tidak
memiliki bukti bahwa salinan milik Yano benar-benar merupakan pola pada
bagian belakang cermin. Ini tetap menjadi misteri. Saya harap hari
dimana cermin tersebut dipertunjukkan segera datang.
3 comments:
pantesan bangsa jepang terkenal pinter jika ternyata mereka terinikasi masih keturunan 10 bangsa israel yang hilang.
pantesan bangsa jepang terkenal pinter jika ternyata mereka terinikasi masih keturunan 10 bangsa israel yang hilang.
sangat informatif. maaf, kalo gak kelewatan baca., ini tulisan sumbernya drmn ya? atau nulis sndiri. trmksh
Posting Komentar