Sejarah Agama Bahá’í


http://putrahermanto.files.wordpress.com/2009/12/symbol.gif
Pada tahun 1844 Sayyid ‘Alí Muhammad dari Shíráz, Iran, yang lebih dikenal dengan gelarnya Sang Bábbahasa Arab), mengumumkan bahwa dia adalah pembawa amanat baru dari Tuhan. Dia juga menyatakan bahwa dia datang untuk membuka jalan bagi wahyu yang lebih besar lagi, yang disebutnya “Dia yang akan Tuhan wujudkan”. Antara lain, Sang Báb mengajarkan bahwa banyak tanda dan peristiwa yang ada dalam Kitab-kitab suci harus dimengerti dalam arti kias, bukan arti harfiah. Dia melarang perbudakan, juga melarang perkawinan sementara, yang pada waktu itu merupakan praktek Syiah Iran. (artinya “Pintu” dalam
Agama Báb tumbuh dengan pesat di semua kalangan di Iran, tetapi juga dilawan dengan keras, baik oleh pemerintah maupun para pemimpin agama. Sang Báb dipenjarakan di benteng Máh-Kú di pegunungan Azerbijan, di mana semua penduduk bersuku bangsa Kurdi, yang dikira membenci orang Syiah; tetapi tindakan itu tidak berhasil memadamkan api agamanya, dan mereka pun menjadi sangat ramah terhadap Sang Báb. Kemudian dia dipenjarakan di benteng Chihríq yang lebih terpencil lagi, tetapi itu juga tidak berhasil mengurangi pengaruhnya. Pada tahun 1850 Sang Báb dihukum mati dan dieksekusi di kota Tabríz. Jenazahnya diambil oleh para pengikutnya secara diam-diam, dan akhirnya dibawa dari Iran ke Bukit KarmelPalestina (sekarang Israel) dan dikuburkan di suatu tempat yang ditentukan oleh Bahá’u’lláh. Makam Sang Báb kini menjadi tempat berziarah yang penting bagi umat Bahá’í. di

Bahá’u’lláh

Antara tahun 1848 dan 1852, lebih dari 20.000 penganut agama Báb telah dibunuh, termasuk hampir semua pemimpinnya. Mírzá Husayn ‘Alí yang lebih dikenal dengan gelarnya Bahá’u’lláh (artinya “Kemuliaan Tuhan” dalam bahasa Arab) adalah seorang bangsawan Iran yang menjadi pendukung utama Sang Báb. Pada tahun 1852, ketika Bahá’u’lláh ditahan di penjara bawah tanah Síyáh-Chál (“lubang hitam”) di kota Teheran, dia menerima permulaan dari misi Ilahinya sebagai “Dia yang akan Tuhan wujudkan” sebagaimana telah diramalkan oleh Sang Báb. Bahá’u’lláh menceritakannya sebagai berikut: “Suatu malam dalam mimpi, firman-firman yang luhur ini terdengar dari segenap penjuru: ‘Sesungguhnya, Kami akan memenangkan-Mu melalui Diri-Mu serta pena-Mu. Janganlah Engkau bersedih hati atas apa yang telah menimpa-Mu, dan janganlah takut pula, sebab Engkau ada dalam keadaan selamat. Tak lama lagi, Tuhan akan membangkitkan harta-harta bumi, orang-orang yang akan membantu-Mu melalui Diri-Mu dan melalui Nama-Mu, dengan mana Tuhan telah menghidupkan kembali hati mereka yang mengenal Dia.’”
Bahá’u’lláh dibebaskan dari Síyáh-Chál, tetapi dia diasingkan dari Iran ke Baghdad, ‘Iráq. Pada awalnya, Bahá’u’lláh tidak mengumumkan misinya kepada para penganut agama Báb lainnya di ‘Iráq, yang berada dalam keadaan sangat kacau dan hina. Dia mulai mendidik dan menghidupkan kembali umat itu melalui tulisannya dan teladannya, dan beberapa Kitab suci Bahá’í yang penting berasal dari masa Baghdad ini, seperti Kalimat Tersembunyi, Tujuh Lembah, dan Kitáb-i-Íqán (“Kitab Keyakinan”). Pada tahun 1863, di sebuah taman yang diberi nama Taman Ridwán, Bahá’u’lláh mengumumkan misinya kepada para pengikut Báb yang berada di Baghdad, dan sejak itu agama ini dikenal sebagai agama Bahá’í.
Segera setelah pengumuman itu, Bahá’u’lláh diminta oleh pemerintahan Turki untuk pindah ke KonstantinopelIstanbul), dan dari sana ke kota Adrianopel (Edirne). Di Adrianopel Bahá’u’lláh mulai mengirimkan “Loh-loh” kepada berbagai raja dan pemimpin dunia, yang mengumumkan kepada mereka kedatangan Hari Tuhan dan menyerukan agar mereka berdamai. Misalnya, salah satu loh yang ditujukan kepada para raja secara kolektif, berbunyi: “Wahai raja-raja di bumi! Kami melihat engkau setiap tahun meningkatkan pengeluaranmu, dan membebankannya pada rakyatmu. Ini sesungguhnya, sama sekali dan jelas tidak adil.…Rakyatmu adalah hartamu…jangan sampai engkau menyerahkan rakyatmu ke tangan perampok.…Wahai para penguasa di bumi! Berdamailah di antaramu sendiri, sehingga engkau tidak lagi memerlukan persenjataan, kecuali apa yang dibutuhkan untuk menjaga wilayah-wilayah…dalam kekuasaanmu.…Wahai raja-raja di bumi! Bersatulah, karena dengan demikianlah prahara perselisihan akan berakhir di antaramu, dan rakyatmu akan memperoleh ketenangan…” (
Pada tahun 1868, Bahá’u’lláh diasingkan ke kota ‘Akká di Palestina (sekarang Israel), yang pada waktu itu dipakai sebagai penjara oleh kekaisaran Usmani. Pada awalnya, Bahá’u’lláh dipenjarakan di barak di ‘Akká, tetapi dengan berlalunya waktu kondisi hidupnya semakin membaik, walaupun secara resmi dia masih seorang pesakitan. Kitab suci yang mengandung kebanyakan hukum Bahá’í, Kitáb-i-Aqdas (“Kitab Tersuci”), diturunkan di ‘Akká. Pada tahun 1892, Bahá’u’lláh wafat di Bahjí dekat ‘Akká, tempat yang menjadi Qiblat agama Bahá’í.

‘Abdu’l-Bahá

Dalam Kitáb-i-‘Ahd, surat wasiatnya, Bahá’u’lláh telah menunjuk putranya, ‘Abdu’l-Bahá sebagai pemimpin agamanya dan Penafsir tulisannya. Hal itu menjamin agar agama Bahá’í tidak mengalami perpecahan.
‘Abdu’l-Bahá telah mengalami pembuangan dan pemenjaraan yang panjang bersama ayahnya. Setelah dia dibebaskan sebagai akibat dari “Revolusi Pemuda Turki” (pada tahun 1908), dia mengadakan suatu perjalanan besar selama tahun 1910-1913 ke Mesir, Inggris, Skotlandia, Perancis, Amerika Serikat, Jerman, Austria, dan Hungaria, di mana dia mengumumkan prinsip-prinsip ajaran Bahá’í. ‘Abdu’l-Bahá juga mengirimkan ribuan surat ke masyarakat-masyarakat Bahá’í setempat di Iran, dengan akibat umat itu yang dahulu miskin dan hina menjadi berpendidikan dan mandiri. ‘Abdu’l-Bahá wafat di Haifa pada tahun 1921, dan kini dikuburkan di salah satu ruang dari Makam Sang Báb.

Shoghi Effendi dan Balai Keadilan Sedunia

Dalam Surat Wasiat ‘Abdu’l-Bahá, cucunya, Shoghi Effendi ditunjuk sebagai “Wali Agama Tuhan”. Selama masa hidupnya, Shoghi Effendi menterjemahkan banyak tulisan suci Bahá’í, melaksanakan berbagai rencana global untuk pengembangan masyarakat Bahá’í, mengembangkan Pusat Bahá’í Sedunia, melakukan surat-menyurat dengan banyak masyarakat dan individu Bahá’í di seluruh dunia, dan membangun struktur administrasi Bahá’í yang mempersiapkan jalan untuk didirikannya Balai Keadilan Sedunia. Shoghi Effendi meninggal pada tahun 1957.
Menurut Kitáb-i-Aqdas, urusan masyarakat Bahá’í setempat dan nasional harus ditangani oleh badan-badan musyawarah yang sekarang dinamakan “Majelis Rohani”, yang terdiri dari sembilan anggota yang dipilih secara demokratis. Pada tingkat internasional, Kitáb-i-Aqdas menetapkan sebuah lembaga yang dinamakan “Balai Keadilan Sedunia”, yang dipilih oleh para anggota Majelis-majelis Rohani Nasional di seluruh dunia. Balai Keadilan Sedunia telah dipilih untuk pertama kalinya pada tahun 1963, dan sejak itu dipilih tiap lima tahun sekali. Selain berlaku sebagai pemimpin agama Bahá’í, Balai Keadilan Sedunia diberi fungsi khusus oleh Bahá’u’lláh untuk membuat hukum-hukum yang tidak ditetapkan dalam Kitáb-i-Aqdas; aspek ini dianggap penting karena memberi agama Bahá’í fleksibilitas untuk menghadapi perubahan zaman tanpa kehilangan persatuannya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar