John Lie, Pahlawan Nasional Tionghoa Pertama



Laksamana Muda TNI Jahja Daniel Dharma (John Lie)


TTL: Manado, 9 Maret 1911
Wafat: 27 Agustus 1998 (87 tahun)

Tiga Orang Dapat Gelar Pahlawan Nasional

Selasa, 10 November 2009 | 02:46 WIB

Jakarta, Kompas - Dalam rangkaian Hari Pahlawan 10 November, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Senin (9/11), selaku Kepala Negara, menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada tokoh Angkatan Laut, Laksamana Muda TNI (Purn) Jahja Daniel Dharma (John Lie), Rektor Universitas Gadjah Mada 1962-1966 Herman Johannes, dan Menteri Luar Negeri periode 1945-1952 Ahmad Subardjo.

Penganugerahan disampaikan Presiden Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta. Hadir dalam acara penganugerahan itu Wakil Presiden Boediono, Ibu Negara Ani Yudhoyono, Ibu Herawati Boediono, sejumlah pimpinan lembaga tinggi negara, sejumlah menteri, Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso, dan pejabat lain.

Gelar pahlawan nasional dan bintang jasa diterima ahli waris. Keputusan itu dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 058/TK/Tahun 2009. Khusus terhadap Jahja Daniel Dharma, Presiden juga menganugerahkan bintang Mahaputera Adi Pradana.

Adapun terhadap tokoh pejuang Jawa Barat, KH Ahmad Sanusi, tokoh pejuang dari Sumatera Utara, Sutan Muhammad Amin (Kroeeng Raba Nasution), tokoh pejuang dari Nusa Tenggara Barat, Sultan Muhammad Salahuddin, dan Raja Keraton Surakarta 1893-1939 Sri Susuhunan Pakubuwono X, Presiden Yudhoyono menganugerahkan bintang Mahaputera Adi Pradana.

Presiden Yudhoyono juga memberikan Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma kepada tokoh perfilman Usmar Ismail serta pelukis dan seniman RM Saptohoedojo. Sejumlah tokoh juga mendapat bintang penghargaan dari pemerintah. (HAR)

Sumber

"Kapal The ‘Outlaw‘ dan kaptennya John Lie adalah legenda saat itu. Radio BBC selalu menyiarkan keberhasilan kapal itu dalam menembus blokade Belanda. Ini membuat Belanda semakin geram dan terus berusaha menjegat kapal kebanggaan Republik."

Quote:
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Laksamana Muda TNI (Purnawirawan) Jahja Daniel Dharma atau yang lebih dikenal sebagai John Lie (lahir di Manado, Sulawesi Utara, 9 Maret 1911 – meninggal 27 Agustus 1998 pada umur 87 tahun) adalah salah seorang perwira tinggi di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dari etnis Tionghoa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ia lahir dari pasangan suami isteri Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio. Awalnya beliau bekerja sebagai mualim kapal pelayaran niaga milik Belanda KPM lalu bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) sebelum akhirnya diterima di Angkatan Laut RI. Semula ia bertugas di Cilacap dengan pangkat Kapten. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan Sekutu. Atas jasanya, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor.

Ia lalu ditugaskan mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu masih tipis. Pada masa awal (tahun 1947), ia pernah mengawal kapal yang membawa karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan. Sejak itu, ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang mereka peroleh lalu diserahkan kepada pejabat Republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan.

Untuk keperluan operasi ini, John Lie memiliki kapal kecil cepat, dinamakan the Outlaw. Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit sebanyak 15 kali ia melakukan operasi "penyelundupan". Pernah saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris. Di pengadilan di Singapura ia dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum. Ia juga mengalami peristiwa menegangkan saat membawa senjata semiotomatis dari Johor ke Sumatera, dihadang pesawat terbang patroli Belanda. John Lie mengatakan, kapalnya sedang kandas. Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap tampaknya berasal dari Maluku, mengarahkan senjata ke kapal mereka. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan the Outlaw tanpa insiden, mungkin persediaan bahan bakar menipis sehingga mereka buru-buru pergi.

Setelah menyerahkan senjata kepada Bupati Usman Effendi dan komandan batalyon Abusamah, mereka lalu mendapat surat resmi dari syahbandar bahwa kapal the Outlaw adalah milik Republik Indonesia dan diberi nama resmi PPB 58 LB. Seminggu kemudian John Lie kembali ke Port Swettenham di Malaya untuk mendirikan naval base yang menyuplai bahan bakar, bensin, makanan, senjata, dan keperluan lain bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Pada awal 1950 ketika ada di Bangkok, ia dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Pada masa berikut ia aktif dalam penumpasan RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku lalu PRRI/Permesta. Ia mengakhiri pengabdiannya di TNI Angkatan Laut pada Desember 1966 dengan pangkat terakhir Laksamana Muda.

Beliau meninggal dunia karena stroke pada 27 Agustus 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Atas segala jasa dan pengabdiannya, beliau dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto pada 10 Nopember 1995.




sumber :http://www.kaskus.us/showthread.php?t=2732707

Tidak ada komentar:

Posting Komentar